Kamis, 22 Mei 2008

Siapa Mau Jadi Guru TK ?

Sebuah tulisan dari Saudara Dzikrullah di Majalah Hidayatullah edisi 3/ XIX Juli 2006 yang berjudul Oxbridge dan Madinah (Memikirkan ulang cara kita memandang sekolah) mengajak kita untuk melihat kondisi pendidikan saat ini. Di dalam tulisannya, beliau membandingkan antara dua sistem pendidikan yang berbeda, yaitu sistem pendidikan Islam dan sekuler. Representasi sistem pendidikan Islam adalah Madinah, sedangkan sekuler dicontohkan di pusat pendidikan Oxbridge (Oxford dan Cambridge) yang terletak di Inggris.

Tulisan tersebut menjelaskan kepada kita bahwa Oxbridge adalah simbol penting pendidikan saat ini. Hampir semua lembaga pendidikan di dunia menjadikan Oxbridge sebagai referensi utama, tidak terkecuali negara-negara muslim seperti Indonesia. Oxbridge dianggap berhasil dalam mencetak ilmuwan-ilmuwan terkenal yang berpengaruh terhadap peradaban manusia. Banyak lulusan Oxbridge yang mendapatkan hadiah Nobel, sebuah penghargaan tertinggi bagi seorang ilmuwan

Tetapi, saudara Dzikrullah mengingatkan kepada kita tentang sebuah kota pendidikan yang lebih dahsyat dari Oxford dan Cambridge, kota tersebut adalah Madinah. Seorang ilmuwan lulusan Madinah mempunyai keterikatan yang kuat dengan Rabbnya, yaitu Allah subhanahuwata’ala. Keterikatan ini didasarkan akan sebuah aqidah yang meyakini bahwa Allah subhanhuwata’ala adalah pemilik segala yang ada di bumi dan langit. Sehingga, sistem pendidikan Madinah tidak memisahkan antara masalah ilmu pengetahuan dengan agama, berbeda dengan sistem pendidikan Oxbridge, yang memungkinkan lulusannya atau bahkan professor-profesornya mempunyai kebiasaan homoseks, alcoholic dan meremehkan gereja. Di Madinah, seorang ilmuwan dituntut untuk memadukan antara aqidah, akhlaq, amal dengan ilmu yang dikuasainya, jika hal tersebut tidak dipenuhi maka kealimannya batal.

Itulah perbandingan antara sistem pendidikan Madinah dan Sekuler. Dibawah ini saya mencoba untuk melihat kembali realita dari kondisi pendidikan kita saat ini. Anak-anak menjadi salah satu sorotan dalam tulisan saya. Karena anak-anak adalah aset yang harus segera diselamatkan.

Melihat kondisi hari ini /
Ada sebuah hal yang harus dilakukan /
Melihat itu di dekat kita /
Ada sebuah hal yang hari ini harus dilakukan //


Mistis, ditengah canda anak-anak

Salah satu strategi kaum kafir untuk menghancurkan umat Islam terutama generasi muda adalah dengan media. Sasaran yang mereka tuju bukan hanya pemuda, tetapi anak-anaklah yang menjadi perhatian khusus mereka. Mengapa anak-anak ? karena anak-anak adalah calon pemuda. Disamping strategi busuk kaum kuffar tersebut, kondisi budaya bangsa Indonesia juga mempengaruhi karakter anak-anak. Ida Ruwaida Noor, seorang dosen Sosiologi FISIP UI mengatakan “Menurut saya, masyarakat Indonesia memang merupakan masyarakat yang masih lekat dengan budaya mistis”. Untuk membuktikan hal itu, telusuri saja kehidupan kita ketika masa kecil dulu. Berbagai legenda mistis seperti legenda Sangkuriang di Jawa Barat, legenda Roro Jongrang di Jawa Tengah, dan legenda lainnya yang sarat akan mistis adalah konsumsi kita sejak anak-anak.

Budaya bangsa Indonesia yang masih lekat dengan mistis, ternyata dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, seperti kaum kafir. Dengan modal otak kapitalis, mereka kuasai jaringan media cetak maupun elektronik. Strategi tersebut perlahan-lahan menjauhkan generasi muda, khususnya anak-anak dari agama.

Dakwah Keluarga, Prioritas Utama

Keluarga adalah unit sosial yang paling kecil dalam pembentukan sumber daya manusia. Keluarga adalah wadah dalam mencetak lahirnya generasi penerus dakwah Islam. Dalam bukunya Ahdaf Al Usrah Fil Islam, Husain Muhammad Yusuf menjelaskan bahwa dalam membangun daulah/negara hal yang harus diperhatikan pertama kali adalah keluarga. Menurutnya, sejauh mana keluarga dalam suatu negara memiliki kekuatan dan ditegakkan pada landasan nilai, maka sejauh itu pula negara tersebut memiliki kemuliaan dan gambaran moralitas dalam masyarakatnya. Setidaknya ada 7 macam pendidikan dalam proyek dakwah keluarga yang harus dilakukan menurut Abdullah Nasih Ulwan dalam bukunya Tarbiyatul Awlad fil Islam. Ketujuh macam pendidikan tersebut adalah :

1. Pendidikan Iman
2. Pendidikan Moral
3. Pendidikan Fisik
4. Pendidikan Intelektual
5. Pendidikan Psikis
6. Pendidikan Sosial
7. Pendidikan Seksual

Untuk menangkal berbagai serangan media terhadap anak, hal yang harus kita perkuat terlebih dahulu terhadap anak adalah pendidikan iman. Pendidikan iman adalah pondasi bagi semua bagian pendidikan. Ketika anak diberikan pendidikan iman terlebih dahulu, maka pendidikan moral yang merupakan bingkai kehidupan akan mengikuti secara otomatis.

Guru TK, Jalan Da’wah yang Cerah

Sebelum memulai bagian ini, saya tidak bermaksud untuk mengajak teman-teman sekalian untuk menjadi guru TK setelah lulus kuliah. Saya sendiri masih yakin, bahwa pendidikan keluarga adalah hal yang terpenting. Tetapi, saya tidak menafikan ada diantara kita yang telah lulus kuliah untuk segera bekerja. Untuk teman satu inilah, saya ajukan sebuah pilihan masa depan yang cerah, seorang guru Taman Kanak-kanak (TK).

Saya selalu mempunyai kebanggaan tersendiri ketika bertemu dan berdiskusi dengan teman-teman dari jurusan Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak (PGTK) dan PGSD. Didalam hati saya, ada sebuah keirian terhadap mereka. Iri karena mereka akan lebih sering daripada saya untuk berinteraksi dengan para generasi penerus dakwah ini. Anak-anak, itulah yang saya maksud.

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.” (An-Nisaa’ : 9).

Ustadz Abdurrahman Muhammad menjelaskan kepada kita tentang pentingnya memikirkan ayat ini. Sebuah ayat yang mengilhami kita untuk berpikir visioner atau jauh ke depan. Ketika kita berpikir visioner, maka kita akan selalu berpikir antisipatif sehingga tidak tergiring untuk bersikap reaktif. Begitu juga dengan pendidikan, Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) sering luput dari perhatian kita. Protes mengenai kuantitas jam pelajaran agama Islam, dll lebih difokuskan pada tingkat sekolah menengah saja.

Sebuah Konsorsium penelitian Jangka Panjang di Amerika Serikat melaporkan bahwa pendidikan TK mempunyai peranan yang amat penting dalam membantu anak-anak dari keluarga kurang beruntung untuk mengimbangi anak-anak yang beruntung (Alm. Prof.DR. Dedi Supriadi, mantan Guru Besar UPI). Begitu juga di Indonesia, Sardja (1981) menemukan bahwa pengalaman TK mempengaruhi secara signifikan hasil belajar membaca dan matematika murid-murid kelas I SD di Jakarta. Selain itu, masih banyak hasil penelitian lainnya yang menyimpulkan bahwa TK memiliki pengaruh positif terhadap prestasi belajar maupun sikap murid-murid yang pernah mengikutinya.

Selain dalam aspek kognitif maupun afektip. ternyata intensitas yang hampir setiap hari dengan orang tua murid, bisa membuat agenda dakwah kita menjadi lancar. Setelah lulus TK, kita bisa lebih lama berhubungan dengan para orang tua murid. Agenda Silaturahim tiap dwi mingguan atau tiap satu bulan, reunian siswa dan orang tua, bisa menjadi ajang tepat untuk kita menawarkan Islam sebagai solusi kehidupan ini. So, tawaran yang menggiurkan untuk menjadi seorang guru TK bukan, anda sanggup ?? (Sumber:
KAMMI.or.id - Oleh : Ramlan Nugraha, Ketua KAMMI Komsat. UPI Bandung)

Tidak ada komentar: